HUKUM DAGANG
1. Pengertian Perdagangan
Hukum Dagang timbul karena adanya kaum
pedagang. Hukum dagang adlah hukum perdata khusus bagi kaum pedagang, jadi
hukum dagang bagi pedagang.
Pengertian perdagangan adalah
: Perdagangan adalah Kegiatan jual beli barang dan / atau jasa yang
dilakukan secara terus menerus dengan tujuan pengalihan hak atas barang dan /
atau jasa dengan disertai imbalan atau kompensasi ( SK MENPERINDAG No.
23/MPP/Kep/1/1998
Siapa
Pedagang dan perbuatan perniagaan itu?
Hukum dagang timbul karena adanya kaum pedagang , hukum
dagang adalah hukum perdata khusus bagi kum pedagang, jadi hukum dagang bagi
pedagang! Siapa pedagang itu? Pertanyaan ini tersirat dalam KUHD (lama) Pasal 2
“pedagang adalah mereka yang melakukan perbuatan perniagaan (daden van
koopehandel) sebagai pekerjaannya sehari-hari” dan untuk pengertian
perniagaan di jawab oleh pasal 3 KUHD (lama) “perbuatan perniagaan adalah
perbuatan pembelian untuk dijual lagi”
Beberapa Istilah dalam perdagangan
a. Dagang : Jual Beli
b. Pedagang : Subjek yg melakukan Aktivitas
(orang dan Badan hukum)
c. Perdagangan : Perdagangan atau perniagaan
dalam arti umum ialah pekerjaan membeli barang dari suatu tempat atau pada
suatu waktu dan menjual barang itu di tempat lain atau pada waktu yang berikut
dengan maksud memperoleh keuntungan.
Sumber-sumber Hukum Dagang
Hukum dagang Indonesia terutama bersumber
pada (diatur dalam)
a. Hukum Yang Tertulis yang dikodifikasikan
1. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD)
atau Wetbook van KoopehandelIndonesia (WvK)
2. Kitab Undang-undang Hukum Sipil (KUHS)
atau Burgerlijk Wetbook Indonesia (BW)
b. Hukum Tertulis yang belum dikodifikasikan
Yakni peraturan perundang-undangan khusus
yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan.
1. Hukum Tertulis yang dikodifikasikan :
Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD)
merupakan sumber hukum tertulis yang mengatur masalah
a. Peraturan lain diluar kodifikasi
a. Staatblad 1927-262, mengenai pengangkutan dengan
kereta api (Bepalingen Spoorwagen
b. Staatblad 1939-100 jo 101, mengenai pengangkutan
dengan kapal terbang dipedalaman dan perubahan-perubahan serta tambahan
selanjutnya
c. Staatblad 1941-101, mengenai perusahaan pertanggungan
jiwa
d. Peraturan pemerintah No. 36 tahun 1948 tentang Damri
e. Undang-undang No.4 Tahun 1959 tentang POS
f. Peraturan pemerintah No.27 Tahun 1959, tentang POS
internasinal
2. Landasan strukturil – UUD 45 pasl 33 ayat
1 berbunyi :
Perekonomian disusun berasas pada kekeluargaan Dari dasar
itu maka dilahirkanlah UU atau aturan yang menyangkut perdagangan daam Negara
RI. Hukum ini tidak boleh bertentangan dengan ekdua landasan di atas. Karenanya
tujuan hokum dagang adalah untuk memajukan kesejahteraan umum.
3. Yang belum terkodifikasi :
a. UU No.1 thn 1995 tentang PT (UU No 40 thn 2007 ttg PT)
b. UU No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal
c. UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN,
d. UU no 14 tahun 2001 tentang hak Paten,
e. UU no 14 tahun 2001 tentang Merek,
f. UU no 19 tahun 2002 Hak Cipta,
g. UU no 30 tahun 2000 Rahasia Dagang
HUKUM HUTANG PIUTANG
Hutang piutang yang lazim dikenal dalam dunia usaha timbul
dari adanya suatu perikatan dan sebagaimana kita ketahui perikatan itu dapat
timbul dari Perjanjian dan Undang-undang (vide Pasal 1233 KUHPerdata):
Definisi
perjanjian diatur dalam Pasal
1313 KUHPerdata yang berbunyi
sebagai berikut:
“Suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”
Dari perjanjian hutang piutang ini timbulah prestasi dan kontra
prestasi yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak berdasarkan kesepakatan.
Jika salah satu pihak melanggar perjanjian dan atau melaksanakannya dengan
tidak sempurna, maka pihak yang dirugikan akan perbuatannya tersebut dapat
memilih untuk memaksa pihak lain untuk meneruskan perjanjian tersebut, atau
meminta pembatalan perjanjian disertai penggantian biaya kerugian dan bunga (vide Pasal 1267 KUHPerdata).
Dalam suasana hukum adat, hukum hutang piutang atau hukum perutangan merupakan
kaidah-kaidah atau norma-norma yang mengatur hak-hak anggota-anggota
persekutuan atas benda-benda yang bukan tanah. Hak-hak tersebut ditandaskan
dalam hukum perseorangan sebagai hak milik. Pada umumnya persekutuan tidak
dapat menghalangi hak-hak perseorangan sepanjang hak-hak tersebut mengeani
benda-benda yang bukan tanah.
Dalam adat hukum hutang piutang tidak hanya meliputi atau mengatur
perbuatanperbuatan hukum yang menyangkutkan masalah perkreditan perseorangan
saja, tetapi juga masalah yang menyangkut tentang :
1.
hak atas perumahan, tumbuh-tumbuhan, ternak dan barang.
2.
sumbang menyumbang, sambat sinambat, tolong menolong
3.
panjer
4.
kredit perseorangan.
Hukum Hutang piutang pada
asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan hutang
atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang disukai
dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun
dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya hutang piutang ialah sebagaimana
berikut ini:
Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah I: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang
baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan
melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Sedangkan dalil dari Al-Hadits adalah apa
yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi r pernah meminjam seekor unta
kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau membawa seekor unta dari
sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki
tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang
kudapatkan hanya-lah sesekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda, “Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah
yang paling baik dalam mengembalikan hutang.”(HR. Bukhari dalam Kitab Al-Istiqradh, baba
istiqradh Al-Ibil(no.2390), dan Muslim dalam kitab Al-musaqah, bab Man Istaslafa
Syai-an Fa Qadha Khairan Minhu (no.1600)
HUKUM KONTRAK KERJASAMA
Didalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama haruslah berdasarkan filosofi
yang terkandung dalam hubungan industrial yang berdasarkan pada nilai-nilai.
Pancasila yaitu musyawarah untuk mufakat. Perjanjian Kerja Bersama pada
dasarnya merupakan suatu cara dalam rangka mengembangkan partisipasi pekerja
untuk ikut andil dalam menentukan pengaturan syarat kerja dalam pelaksanaan
hubungan kerja, sehingga dengan adanya partisipasi tersebut diharapkan timbul
suatu sikap ataupun rasa memiliki dan juga rasa tanggung jawab terhadap
kelangsungan hidup perusahaan.
Perjanjian kerja bersama dirundingkan oleh serikat pekerja/serikat buruh
yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.
Perundingan perjanjian kerja bersama ini haruslah didasari oleh itikad baik
dan berkemauan bebas dari kedua belah pihak.
Perundingan perjanjian kerja bersama dilaksanakan secara musyawarah untuk
mufakat. Lamanya perundingan perjanjian kerja bersama ini ditetapkan
berdasarkan kesepakatan para pihak dan dituangkan ke dalam tata tertib
perundingan.
Pembentukan PKB berdasarkan Pasal 119 dan Pasal 120 Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dibagi 2 yaitu untuk perusahaan yang
memiliki satu serikat Buruh dan perusahaan yang memiliki lebih dari satu
serikat Buruh. Ketentuan Pasal 119 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 berlaku bagi
perusahaan yang memiliki satu serikat buruh, yaitu batasan serikat buruh yang
berhak mewakili buruh dalam perundingan pembuatan PKB apabila :
- memiliki
jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh
di perusahaan yang bersangkutan atau; Apabila musyawarah tidak mencapai
kesepakatan tentang suatu hal, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
- mendapat
dukungan lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh
pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara. Apabila tidak
terpenuhi ;
- dapat
mengajukan kembali permintaan untuk merundingkan perjanjian kerja bersama
dengan pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung
sejak dilakukannya pemungutan suara.
Ketentuan Pasal 120 berlaku bagi perusahaan yang memiliki lebih dari satu
serikat buruh, yaitu batasan serikat buruh yang berhak mewakili buruh dalam
perundingan pembuatan PKB apabila :
- jumlah
keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah
pekerja/buruh di perusahaan tersebut. Apabila tidak terpenuhi ;
- serikat
pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah
lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh
di perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan
pengusaha.
- tidak
terpenuhi, maka para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding
yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah
anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.
Perjanjian Kerja Bersama harus dibuat dalam bentuk tertulis dengan huruf
latin dan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam hal perjanjian kerja bersama
dibuat tidak menggunakan bahasa Indonesia, maka perjanjian kerja bersama
tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi yang
telah disumpah dan hasil terjemahan tersebut dianggap sebagai perjanjian kerja
bersama yang telah memenuhi syarat perundang-undangan yang diatur dalam Pasal
116 ayat 3 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Berdasarkan kerentuan yang diatur dalam Pasal 21 Kep.48/Men/IV/2004 tentang
tentang Tata cara Pembuatan dan pengesahan Peraturan perusahaan serta pembuatan
dan pengesahan Perjanjian Kerja Bersama, perjanjian kerja bersama
sekurang-kurangnya harus memuat :
- nama,
tempat kedudukan serta alamat serikat pekerja/serikat buruh;
- nama,
tempat kedudukan serta alamat perusahaan;
- nomor
serta tanggal pencatatan serikat pekerja/serikat buruh pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota;
- hak dan
kewajiban pengusaha;
- hak dan
kewajiban serikat pekerja/serikat buruh;
- jangka
waktu dan mulai berlakunya perjanjian kerja bersama;dan
- tanda
tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama.
Secara yuridis formal dasar hukum dalam pembuatan Perjanjian Kerja
Bersama didasarkan atas :
- Kepmenaker
No. 48 tahun 2004 tentang Tata cara Pembuatan dan pengesahan Peraturan
perusahaan serta pembuatan dan pengesahan Perjanjian Kerja bersama.
- Undang-undang
No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
- Undang-undang
No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
- Undang-undang
No. 18 tahun 1956 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 98.
- Peraturan
Pemerintah No. 49 tahun 1954 tentang Tata Cara Membuat dan Mengatur
Perjanjian Perburuhan.
- Undang-undang
No. 21 tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Pekerja dan
Majikan.
Hubungan Kerja (Hubungan Hukum Karyawan dengan
Perusahaan)
Perjanjian yang dibuat antara 2 pihak antara pihak pekerja dengan pihak
majikan yang melahirkan hak dan kewajiban. Hubungan kerja ada disebabkan karena
adanya perjanjian. Perjanjian ini mengakibatkan perikatan. Dalam KUHPer, selain
perjanjian kerja, ada juga dikenal dengan perjanjian kerja lain yang kemudian
dikenal dengan sebutan “perjanjian melakukan kerja”
dan “perjanjian pemborongan”.
Menurut Prof. Soebekti memberikan pengertian
perjanjian kerja ialah perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan,
perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri :
1.
Ada upah atau gaji tertentu yang
diperjanjikan
2.
Adanya hubungan diperatas, yaitu
suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan
perintah yang harus ditaati oleh orang lain.
Jika kita perhatikan rumusan perjanjian kerja di atas
dapat disimpulkan paling tidak ada empat unsur agar suatu perjanjian dapat
disebut sebagai perjanjian kerja, yaitu : (1) ada pekerjaan, (2) ada upah, (3)
di bawah perintah, dan (4) waktu tertentu.
Dalam KUHPer tidak diatur mengenai bentuk perjanjian
kerja, maka bisa dikatakan perjanjian kerja dapat dibuat secara lisan dan
tertulis. Hanya saja, jika perjanjian itu tertulis, biaya akta dan lainnya
biaya tambahan akan ditanggung oleh majikan (1601 KUHPer). Terhadap kebebasan
bentuk perjanjian kerja ini ada pengecualiannya, yaitu mengenai perjanjian
kerja di laut dan perjanjian kerja di perkebunan.
1. Perjanjian kerja di laut
Dalam pasal 399 KUHD perjanjian kerja antara seorang
pengusaha danburuh, yang berlaku sebagai nahkoda dan perwira kapal, dengan
ancaman batal, harus dibuat secara tertulis. Tanpa adanya perjanjian dalam
bentuk tertulis tidak ada perjanjian kerja.
2. Perjanjian kerja di perkebunan
Berbeda dengan perjanjian kerja di laut, jika tidak
ada perjanjian tertulis, tidak ada perjanjian kerja. Jika di perkebunan tetap
ada, hanya saja majikan diancam pidana. Dalam Vrije Arbeidsregeling,
pasal 1 ayat 1 menegaskan bahwa majikan wajib mencatat dalam daftar menurut
contoh yang ditetapkan oleh atau atas nama pemerintah, nama buruh yang bekerja
padanya dengan menyebutkan permulaan dan berakhirnya perjanjian kerja serta
upah yang telah disetujui dan pinjaman buruh.
Pembebanan kewajiban melakukan pencatatan mengenai
beberapa hal tersebut dimaksudkan untuk kepentingan buruh. Sebab dengan
pencatatan tersebut segera diketahui pihak-pihak tertentu, termasuk pemerintah,
apakah majikan melanggar peraturan perundang-undangan atau tidak.
Isi perjanjian kerja, sebagaimana isi perjanjian pada
umumnya, tidak boleh bertentangan dengan UU, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Dikatakan bertentangan dengan UU apabila isi perjanjian kerja bertentangan
dengan keharusan yang diberikan UU. Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran
tersebut bermacam-macam, dapat merupakan kebatalan atau pidana.
Isi perjanjian kerja yang lainnya adalah :
1. Kewajiban buruh (Karyawan)
1.
Melakukan pekerjaan
2.
Mentaati aturan-aturan tentang
pekerjaan
3.
Membayar ganti rugi dan denda
jika terjadi kesalahan
2. Kewajiban Majikan (Perusahaan)
1.
Membayar upah
2.
Mengatur pekerjaan dan tempat
kerja
3.
Memberi cuti
4.
Memberikan surat keterangan
5.
Mengurus peralatan dan pengobatan
SUMBER