Minggu, 30 April 2017

Hukum Dagang,Hutang Piutang,Kontrak Kerjasama,Dan Tentang Hubungan Karyawan Dengan Perusahaan

HUKUM DAGANG
1. Pengertian Perdagangan
Hukum Dagang timbul karena adanya kaum pedagang. Hukum dagang adlah hukum perdata khusus bagi kaum pedagang, jadi hukum dagang bagi pedagang.
Pengertian perdagangan adalah : Perdagangan adalah Kegiatan jual beli barang dan / atau jasa yang dilakukan secara terus menerus dengan tujuan pengalihan hak atas barang dan / atau jasa dengan disertai imbalan atau kompensasi ( SK MENPERINDAG No. 23/MPP/Kep/1/1998
 Siapa Pedagang dan perbuatan perniagaan itu?
Hukum dagang timbul karena adanya kaum pedagang , hukum dagang adalah hukum perdata khusus bagi kum pedagang, jadi hukum dagang bagi pedagang! Siapa pedagang itu? Pertanyaan ini tersirat dalam KUHD (lama) Pasal 2 “pedagang adalah mereka yang melakukan perbuatan perniagaan (daden van koopehandel) sebagai pekerjaannya sehari-hari” dan untuk pengertian perniagaan di jawab oleh pasal 3 KUHD (lama) “perbuatan perniagaan adalah perbuatan pembelian untuk dijual lagi”
Beberapa Istilah dalam perdagangan
a. Dagang : Jual Beli
b. Pedagang : Subjek yg melakukan Aktivitas (orang dan Badan hukum)
c. Perdagangan : Perdagangan atau perniagaan dalam arti umum ialah pekerjaan membeli barang dari suatu tempat atau pada suatu waktu dan menjual barang itu di tempat lain atau pada waktu yang berikut dengan maksud memperoleh keuntungan.
Sumber-sumber Hukum Dagang
Hukum dagang Indonesia terutama bersumber pada (diatur dalam)
a. Hukum Yang Tertulis yang dikodifikasikan
1. Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetbook van KoopehandelIndonesia (WvK)
2. Kitab Undang-undang Hukum Sipil (KUHS) atau Burgerlijk Wetbook Indonesia (BW)
b. Hukum Tertulis yang belum dikodifikasikan
Yakni peraturan perundang-undangan khusus yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan.
1. Hukum Tertulis yang dikodifikasikan :
Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) merupakan sumber hukum tertulis yang mengatur masalah
a. Peraturan lain diluar kodifikasi
a. Staatblad 1927-262, mengenai pengangkutan dengan kereta api (Bepalingen Spoorwagen
b. Staatblad 1939-100 jo 101, mengenai pengangkutan dengan kapal terbang dipedalaman dan perubahan-perubahan serta tambahan selanjutnya
c. Staatblad 1941-101, mengenai perusahaan pertanggungan jiwa
d. Peraturan pemerintah No. 36 tahun 1948 tentang Damri
e. Undang-undang No.4 Tahun 1959 tentang POS
f. Peraturan pemerintah No.27 Tahun 1959, tentang POS internasinal
2. Landasan strukturil – UUD 45 pasl 33 ayat 1 berbunyi :
Perekonomian disusun berasas pada kekeluargaan Dari dasar itu maka dilahirkanlah UU atau aturan yang menyangkut perdagangan daam Negara RI. Hukum ini tidak boleh bertentangan dengan ekdua landasan di atas. Karenanya tujuan hokum dagang adalah untuk memajukan kesejahteraan umum.
3. Yang belum terkodifikasi :
a. UU No.1 thn 1995 tentang PT (UU No 40 thn 2007 ttg PT)
b. UU No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal
c. UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN,
d. UU no 14 tahun 2001 tentang hak Paten,
e. UU no 14 tahun 2001 tentang Merek,
f. UU no 19 tahun 2002 Hak Cipta,
g. UU no 30 tahun 2000 Rahasia Dagang

HUKUM HUTANG PIUTANG
Hutang piutang yang lazim dikenal dalam dunia usaha timbul dari adanya suatu perikatan dan sebagaimana kita ketahui perikatan itu dapat timbul dari Perjanjian dan Undang-undang (vide Pasal 1233 KUHPerdata):
 Definisi perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut:
 “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih
 Dari perjanjian hutang piutang ini timbulah prestasi dan kontra prestasi yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak berdasarkan kesepakatan. Jika salah satu pihak melanggar perjanjian dan atau melaksanakannya dengan tidak sempurna, maka pihak yang dirugikan akan perbuatannya tersebut dapat memilih untuk memaksa pihak lain untuk meneruskan perjanjian tersebut, atau meminta pembatalan perjanjian disertai penggantian biaya kerugian dan bunga (vide Pasal 1267 KUHPerdata).
Dalam suasana hukum adat, hukum hutang piutang atau hukum perutangan merupakan kaidah-kaidah atau norma-norma yang mengatur hak-hak anggota-anggota persekutuan atas benda-benda yang bukan tanah. Hak-hak tersebut ditandaskan dalam hukum perseorangan sebagai hak milik. Pada umumnya persekutuan tidak dapat menghalangi hak-hak perseorangan sepanjang hak-hak tersebut mengeani benda-benda yang bukan tanah.
Dalam adat hukum hutang piutang tidak hanya meliputi atau mengatur perbuatanperbuatan hukum yang menyangkutkan masalah perkreditan perseorangan saja, tetapi juga masalah yang menyangkut tentang :

1.    hak atas perumahan, tumbuh-tumbuhan, ternak dan barang.
2.    sumbang menyumbang, sambat sinambat, tolong menolong
3.    panjer
4.    kredit perseorangan.
Hukum Hutang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya hutang piutang ialah sebagaimana berikut ini:

Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah I: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)

Sedangkan dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi r pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah sesekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda,  “Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan hutang.”(HR. Bukhari dalam Kitab Al-Istiqradh, baba istiqradh Al-Ibil(no.2390), dan Muslim dalam kitab Al-musaqah, bab Man Istaslafa Syai-an Fa Qadha Khairan Minhu (no.1600)

HUKUM KONTRAK KERJASAMA
Didalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama haruslah berdasarkan filosofi yang terkandung dalam hubungan industrial yang berdasarkan pada nilai-nilai. Pancasila yaitu musyawarah untuk mufakat. Perjanjian Kerja Bersama pada dasarnya merupakan suatu cara dalam rangka mengembangkan partisipasi pekerja untuk ikut andil dalam menentukan pengaturan syarat kerja dalam pelaksanaan hubungan kerja, sehingga dengan adanya partisipasi tersebut diharapkan timbul suatu sikap ataupun rasa memiliki dan juga rasa tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup perusahaan.

Perjanjian kerja bersama dirundingkan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa pengusaha.

Perundingan perjanjian kerja bersama ini haruslah didasari oleh itikad baik dan berkemauan bebas dari kedua belah pihak.

Perundingan perjanjian kerja bersama dilaksanakan secara musyawarah untuk mufakat. Lamanya perundingan perjanjian kerja bersama ini ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak dan dituangkan ke dalam tata tertib perundingan.
Pembentukan PKB berdasarkan Pasal 119 dan Pasal 120 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dibagi 2 yaitu untuk perusahaan yang memiliki satu serikat Buruh dan perusahaan yang memiliki lebih dari satu serikat Buruh. Ketentuan Pasal 119 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 berlaku bagi perusahaan yang memiliki satu serikat buruh, yaitu batasan serikat buruh yang berhak mewakili buruh dalam perundingan pembuatan PKB apabila :
  1. memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan atau; Apabila musyawarah tidak mencapai kesepakatan tentang suatu hal, maka penyelesaiannya dilakukan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial. 
  2. mendapat dukungan lebih 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui pemungutan suara. Apabila tidak terpenuhi ; 
  3. dapat mengajukan kembali permintaan untuk merundingkan perjanjian kerja bersama dengan pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak dilakukannya pemungutan suara. 
Ketentuan Pasal 120 berlaku bagi perusahaan yang memiliki lebih dari satu serikat buruh, yaitu batasan serikat buruh yang berhak mewakili buruh dalam perundingan pembuatan PKB apabila :
  1. jumlah keanggotaannya lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut. Apabila tidak terpenuhi ; 
  2. serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili dalam perundingan dengan pengusaha. 
  3. tidak terpenuhi, maka para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh. 

Perjanjian Kerja Bersama harus dibuat dalam bentuk tertulis dengan huruf latin dan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam hal perjanjian kerja bersama dibuat tidak menggunakan bahasa Indonesia, maka perjanjian kerja bersama tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi yang telah disumpah dan hasil terjemahan tersebut dianggap sebagai perjanjian kerja bersama yang telah memenuhi syarat perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 116 ayat 3 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Berdasarkan kerentuan yang diatur dalam Pasal 21 Kep.48/Men/IV/2004 tentang tentang Tata cara Pembuatan dan pengesahan Peraturan perusahaan serta pembuatan dan pengesahan Perjanjian Kerja Bersama, perjanjian kerja bersama sekurang-kurangnya harus memuat :
  1. nama, tempat kedudukan serta alamat serikat pekerja/serikat buruh; 
  2. nama, tempat kedudukan serta alamat perusahaan; 
  3. nomor serta tanggal pencatatan serikat pekerja/serikat buruh pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota;  
  4. hak dan kewajiban pengusaha; 
  5. hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat buruh; 
  6. jangka waktu dan mulai berlakunya perjanjian kerja bersama;dan 
  7. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian kerja bersama. 
Secara yuridis  formal dasar hukum dalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama didasarkan atas :
  1. Kepmenaker No. 48 tahun 2004 tentang Tata cara Pembuatan dan pengesahan Peraturan perusahaan serta pembuatan dan pengesahan Perjanjian Kerja bersama. 
  2. Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 
  3. Undang-undang No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. 
  4. Undang-undang No. 18 tahun 1956 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No. 98. 
  5. Peraturan Pemerintah No. 49 tahun 1954 tentang Tata Cara Membuat dan Mengatur Perjanjian Perburuhan. 
  6. Undang-undang No. 21 tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Pekerja dan Majikan.

Hubungan Kerja (Hubungan Hukum Karyawan dengan Perusahaan)

Perjanjian yang dibuat antara 2 pihak antara pihak pekerja dengan pihak majikan yang melahirkan hak dan kewajiban. Hubungan kerja ada disebabkan karena adanya perjanjian. Perjanjian ini mengakibatkan perikatan. Dalam KUHPer, selain perjanjian kerja, ada juga dikenal dengan perjanjian kerja lain yang kemudian dikenal dengan sebutan “perjanjian melakukan kerja” dan “perjanjian pemborongan”.

Menurut Prof. Soebekti memberikan pengertian perjanjian kerja ialah perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri :
1.                   Ada upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan
2.                   Adanya hubungan diperatas, yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah yang harus ditaati oleh orang lain.

Jika kita perhatikan rumusan perjanjian kerja di atas dapat disimpulkan paling tidak ada empat unsur agar suatu perjanjian dapat disebut sebagai perjanjian kerja, yaitu : (1) ada pekerjaan, (2) ada upah, (3) di bawah perintah, dan (4) waktu tertentu.

 

Dalam KUHPer tidak diatur mengenai bentuk perjanjian kerja, maka bisa dikatakan perjanjian kerja dapat dibuat secara lisan dan tertulis. Hanya saja, jika perjanjian itu tertulis, biaya akta dan lainnya biaya tambahan akan ditanggung oleh majikan (1601 KUHPer). Terhadap kebebasan bentuk perjanjian kerja ini ada pengecualiannya, yaitu mengenai perjanjian kerja di laut dan perjanjian kerja di perkebunan.


1. Perjanjian kerja di laut

Dalam pasal 399 KUHD perjanjian kerja antara seorang pengusaha danburuh, yang berlaku sebagai nahkoda dan perwira kapal, dengan ancaman batal, harus dibuat secara tertulis. Tanpa adanya perjanjian dalam bentuk tertulis tidak ada perjanjian kerja.

2. Perjanjian kerja di perkebunan

Berbeda dengan perjanjian kerja di laut, jika tidak ada perjanjian tertulis, tidak ada perjanjian kerja. Jika di perkebunan tetap ada, hanya saja majikan diancam pidana. Dalam Vrije Arbeidsregeling, pasal 1 ayat 1 menegaskan bahwa majikan wajib mencatat dalam daftar menurut contoh yang ditetapkan oleh atau atas nama pemerintah, nama buruh yang bekerja padanya dengan menyebutkan permulaan dan berakhirnya perjanjian kerja serta upah yang telah disetujui dan pinjaman buruh.

Pembebanan kewajiban melakukan pencatatan mengenai beberapa hal tersebut dimaksudkan untuk kepentingan buruh. Sebab dengan pencatatan tersebut segera diketahui pihak-pihak tertentu, termasuk pemerintah, apakah majikan melanggar peraturan perundang-undangan atau tidak.

 

Isi perjanjian kerja, sebagaimana isi perjanjian pada umumnya, tidak boleh bertentangan dengan UU, kesusilaan, dan ketertiban umum. Dikatakan bertentangan dengan UU apabila isi perjanjian kerja bertentangan dengan keharusan yang diberikan UU. Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran tersebut bermacam-macam, dapat merupakan kebatalan atau pidana.
Isi perjanjian kerja yang lainnya adalah :

1.  Kewajiban buruh (Karyawan)
1.                   Melakukan pekerjaan
2.                   Mentaati aturan-aturan tentang pekerjaan
3.                   Membayar ganti rugi dan denda jika terjadi kesalahan

2.  Kewajiban Majikan (Perusahaan)
1.                   Membayar upah
2.                   Mengatur pekerjaan dan tempat kerja
3.                   Memberi cuti
4.                   Memberikan surat keterangan
5.                   Mengurus peralatan dan pengobatan

 



SUMBER


Tidak ada komentar:

Posting Komentar